Simpang jalan, di rumah nomor tiga belas, aku bermain darah di sela kaki yang darahnya adalah muara sindrom. Lalu, kujatuhkan lendir hingga menjuntai di hati yang membatu
Di sana aku berpesta, bermain candu bersama kupu-kupu. Menanak diagnosis pemberian ibu berseragam baju putih. Hingga lupa berapa ruas belimbing yang aku makan dalam masjid kemarin
Hitamlah darahku, najislah tubuhku. Bagimu kawan, jangan engkau benci aku. Tuangkan saja satu sloki doa yang putih untukku, agar aku bisa mendengar puisi-puisi tobat di selaput hatiku
Satu jalan menuju pulang. Tuhan, izinkan aku mengetuk rumahmu. Sebelum senja menghujani sisa napasku, di tepian tabir, aku ingin kembali di pangkuan syahadat; asyahadu an laa ilaaha illallah, waasyhaduanna muhammadaraasuulullah
Blitar, Desember 2019.
Komentar
Posting Komentar