Lepas dari kendali musim, bisik angin tak menentu
Kadang terdengar
Kadang diam
Merapal doa-doa kemarau di sebalik tubuh hujan Seperti dirimu yang sesekali datang menyapa rindu
Namun mengabaikan pesan cinta kekasih putih
Seketika semesta dirundung duka, mendung yang tiba-tiba seakan tak paham
Inikah pertanda hujan akan turun menampar batu-batu
Biar pecah melubangi waktu
Atau langit hanya isak menahan tangis
Ataukah matahari yang buta saat mengeja angkasa?
Redup teriknya menipu alam, ia bukan hanya membakar, tapi dingin yang menguliti
Setiba sesal, saat itulah langit meluruhkan air mata sejadi-jadinya
Dan jiwa raga serasa dikekang rembulan, hingga gelap kuyup lenyap menjemput kematian yang sia-sia
Selayak menghitung detik ajal dengan meneguk racun kesesatan
Menelan virus memabukkan, dan bersanggama dengan cara tak dihalalkan
Mengkafani kenang di atas bumi berdarah ibu
Sedang dari rahimnya kita sama dilahirkan sebagai cinta
Mari menadah luruh hujan pembawa berkah yang menghardik batu-batu dosa
Lalu pecah mengalirkan kejernihan air di celanya
Menuju sungai-sungai dan tanah-tanah gersang yang tabah menunggu tubuh kita bermuhabah kepada Tuhan
Masih ada waktu.
Makassar, 01 Desember 2019.
Komentar
Posting Komentar