Langsung ke konten utama

Cari Buku Terbit: Input Code QRSBN

HUJAN DAN PETRIKORNYA | Puisi Galang Suhastra

 

Karya : Galang Suhastra

Setangkup kuyup rembulan, kehujanan di atas layang-layang. Delapan sembilan bintang, nyala mati jatuh di atas rumputan, terlumur air lumpur kubangan jalan. Jika kehormatan dibeli dengan lima puluh ribuan, lalu mengapa kita harus turun menuntut keadilan?

Petrikor menusuk hidung lewat udara, menembus paru serupa corona. Anyir bau nyinyir mewarna mayapada. Sumpah serapah dimamah menjadi sirih perjamuan luka. Palu telah diketuk dengan tawa. Jika nasib dibeli dengan lima puluh ribuan, lalu mengapa kita mesti merana?


Hujan kita ialah hujan tangisan para buruh pekerja. Dianjak, diinjak ditumbalkan atas nama kesejahteraan negara.

Hujan kita ialah hujan air mata jelata. Yang telah kemarau, bersama parau teriakan tak berdaya.


Seusai hujan dipaksa reda, petrikornya tak sedap tak beraroma. Ooo, tidak, ada aroma luka yang terus berulang lantas menghilang alpa. Pahlawan kesiangan  hanya mengumpulkan pundi suara. Mahasiswa dan pemuda merusak gedung malah membuat para bedebah girang gembira. Tokoh-tokoh berdebat, membangun arena lomba. Keadilan memang telah dibeli murah meriah setiap tahunnya. 


Petrikor menguap begitu saja. Sebentar lagi semua pasti terlupa. Lalu dalam pemilu, terpilih lagi para bedebah selanjutnya.


Blitar, Oktober 2020

Komentar